Senin, 31 Januari 2011

Palu Arit di Ijazah Inzjenier Subagyo

Para mahasiswa lulusan universitas di Moskow periode 1960-an jadi incaran setelah pagebluk politik 30 September 1965. Jika tak dibunuh, mereka dikurung tanpa peradilan. Tapi ada orang Surabaya yang lolos
dari kedua-duanya. Namanya Subagyo, titelnya inzjenier-agronom alias insinyur pertanian. Pada 1 September lalu, dia berusia tepat 69 tahun.

abstract.desktopnexus.com
Semua rambutnya memutih tapi berbicara layaknya pemuda. Suka humor, terutama ketika menertawakan nasibnya sendiri. "Sekarang ya kere begini," kata Subagyo kepada Surya di rumahnya, Jl Gayungsari, Jumat
(7/9/2007). Keberangkatan Subagyo ke Uni Soviet bermula dari pameran pendidikan di Jogjakarta, 1959.

Saat itu dia mahasiswa semester empat jurusan Kedokteran Hewan di UGM. Ayahnya, Kusno, kuat membayari kuliahnya karena bekerja sebagai klerk alias juru tulis kantor notaris keturunan Belanda di Surabaya. Subagyo adalah anak keenam dari 11 bersaudara. Ia terbiasa hidup susah sehingga ingin mengubah nasib. Tapi kuliahnya di UGM tak lancar. "Dosen-dosennya hasil pendidikan zaman Belanda, standarnya susah banget," ujarnya.

Itu sebabnya, dia nekat mendaftar jurusan ilmu pertanian di Universitas Persahabatan Bangsa-bangsa 'Patrice Lumumba' atau Universitet Drushba Narodov di Moskow. "Lamarannya saya tulis pakai bahasa Indonesia. Setelah diterima, saya langsung ke Kedubes Uni Soviet di Jakarta, pamit bapak di Surabaya cuma lewat telepon," katanya.

Sesampai di Jakarta, ternyata dia harus mengurus paspor dulu ke Surabaya. Jadilah dia pamit bapaknya. Tak lama kemudian, Subagyo terbang ke Moskow via India menumpang Super Constalation milik Air India. "Dari India ke Moskow dengan pesawat TU 104. Itu aslinya pesawat tempur tapi dimodifikasi untuk bawa penumpang," kenangnya.

Moskow di bulan Desember 1959 itu sedang musim dingin, sementara Subagyo hanya berbekal beberapa potong baju ala Indonesia. Lain sekali dengan persiapan enam kawan sepesawatnya, antara lain, Tumbu Tri
Iswari Astiani, istri bekas Kabulog Rahardi Ramelan. Setamat kuliah, Subagyo pulang menjelang 30 September 1965. "Aku disubyo-subyo (dielu-elukan), dikenalkan ke orang-orang penting di kantor PNI dan
PKI," kenangnya.

Tapi sampai kini, dia tidak tercatat sebagai anggota partai itu. Sepulang kuliah itu, Subagyo masih bisa pilih-pilih pekerjaan yang sekiranya enak meski sudah pasti jadi pegawai negeri karena ada ikatan dinas.

Tapi akhirnya dia memilih jadi dosen di Universitas Udayana, Bali yang baru didirikan. Situasi sudah panas saat itu. Unjukrasa menghujat PKI marak juga di Bali. Kabar pembunuhan mulai terdengar. Sadar dirinya
gampang dikait-kaitkan dengan partai itu, Subagyo pun menyingkir ke Banyuwangi. "Nggak takut gimana, ijazah saya ada gambar palu-aritnya. Bisa-bisa saya dianggap anggota PKI," ujarnya.

Selama di Banyuwangi, dia bekerja di kebun kopi milik pensiunan tentara dan orang Tionghoa. "Mereka tahu saya lulusan Moskow tapi yang penting, kan, nggak lapor ke Koramil," ujarnya. Menurut dia, zaman itu
tidak ada razia di bus-bus sehingga dirinya sesekali bisa tetap mengajar di Denpasar. "Yang gawat itu kalau ada Operasi Kalong atau drop-dropan (pengerahan milisi oleh tentara)," kenangnya.

Demi bertahan hidup, Subagyo tak pernah menunjukkan ijazah aslinya dari Moskow, termasuk kepada mertuanya. "Ijazah saya ini dulu dibuntel (dibungkus rapat) sama istri saya," katanya. Untuk keperluan melamar kerja, dia cukup menunjukkan surat keterangan lulus dari Moskow yang dikeluarkan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, 12 Agustus 1965. Subagyo juga punya surat keterangan berkelakuan baik dan tidak terlibat perkumpulan/partai terlarang.

Surat itu dikeluarkan Komando Ressort Kepolisian VII, Pasar Minggu, Djakarta tanggal 27 April 1967. "Saya bisa dapat itu karena di kota. Jadi, tidak ada verifikasi seperti kalau di desa," ujarnya. Perasaan
was-was Subagyo muncul lagi ketika menerima surat dari Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kartini Abubakar, 30 Juli 1977.

Surat itu mengabarkan, proses penilaian ijazahnya sudah selesai dan bisa diambil sendiri (digarisbawahi) di Jakarta. "Wah, ini kalau diambil kan sama dengan kutuk marani sunduk. Saya nggak mau," katanya.

Semua temannya yang dia temui belum lama ini ternyata juga tak ada yang menggubris surat itu. Sesudah masa itu, Subagyo bersiasat terus agar lolos dari incaran aparat. Indoktrinasi yang lazim disebut
Penataran P4 pun dia ikuti. "Saya dulu sampai hafal butir-butir Pancasila itu, tapi sekarang nggak ada yang berbekas itu," ujarnya.

Lain dengan penguasaan bahasa Rusia-nya yang masih awet. "Tapi jujur saja, sampai sekarang perasaan khawatir itu belum hilang sama sekali," akunya. (yuli ahmada)