Minggu, 31 Oktober 2010

Online Polling Tidak Ilmiah

“Meskipun harus diakui bahwa metode polling online masih jauh dari kategori ilmiah, tapi tidak tertutup kemungkinan bagi penyelenggara polling untuk melakukan pembenahan ke arah yang lebih baik.”

Online polling versi Tempo Interaktif.

Itu kesimpulan Eriyanto tahun 2002. Ia pembagi ilmu polling paling murah hati tapi nama dan nomor teleponnya tidak tercatat dalam handphone kebanyakan wartawan Jakarta. Sebab itu, dia tidak basah kuyup oleh publikasi seperti para pemetik laba dari pasar jajak pendapat, mulai Denny JA, Saiful Mujani sampai M Qodari di Jakarta atau M Asfar di Surabaya.

Eriyanto menuliskan kesimpulan tadi dalam makalah berjudul Polling Online: Prospek Penerapannya di Indonesia. Makalahnya disatukan dengan makalah karangan beberapa orang lain dalam buku Teknologi Informasi dan Pembangunan Demokrasi di Indonesia. Penerbitnya The Habibie Center dan pengongkosnya Hans Seidel Foundation.

Kini, enam tahun kemudian, masihkah online polling juga jauh dari ilmiah? Adakah pembenahan selama enam tahun terakhir itu? Lalu, kapan kira-kira metode itu kelak bisa mencapai derajat atau setidaknya mendekati ilmiah?

Tidak, saya tidak cukup punya ilmu untuk menguji atau meramal perkembangan ilmu ini. Saya justru ingin tahu tentang software apa –berbayar atau gratis– yang paling mutakhir untuk menyelenggarakan jajak pendapat online?

Saya hanya terbiasa memanfaatkan komponen bawaan Joomla yang sekadar bisa mengatur durasi antarklik dari satu Internet Protocol Address. By default, durasinya 86400 detik atau 24 jam. Jadi, ribuan klik dari satu komputer atau line internet akan otomatis dihitung satu klik selama 24 jam. Lain cerita kalau seseorang yang sama berpindah komputer lalu melakukan klik lagi.

Inilah salah satu kelemahan jajak pendapat online yang belum ada penangkalnya, kecuali setiap komputer bisa mengintai penggunanya sebagaimana dikhayalkan George Orwell dalam novel bekennya, 1984. Kalau saja ada software sakti begitu, semahal-mahalnya juga akan ada yang beli karena lebih murah dibanding pakai metode konvensional.

Kelemahan lain jajak pendapat online sudah jamak diketahui, yakni soal representasi alias keterwakilan. Kalau survei AC Nielsen sahih, hanya 3 % dari 210 juta penduduk Indonesia yang punya akses internet sampai tahun 1999. Sebanyak 6,3 juta orang itu pun belum tentu semua dari kaum makmur karena sangat boleh jadi kaum papa bisa akses internet cuma-cuma dari kantor, macam saya-lah.

Kendati demikian, jajak pendapat online tetap saja digunakan organisasi-organisasi berita dengan kuisoner bernada serius sampai iseng. Tapi, hanya sedikit organisasi yang berterus terang soal hasil jajak pendapatnya tidak ilmiah, kebanyakan malah berterus gelap.

Jadi, haruskah setiap media yang membuat jajak pendapat online mencantumkan ketidakilmiahan metode dan hasilnya, terutama ketika dimuat di edisi cetak?
  1. Harus
  2. Tidak
Kirimkan jawaban dan argumen anda lewat fasilitas komentar karena blog ini tidak sedia jajak pendapat online yang sudah jelas banyak lubang metodenya.

First published in Telisik Jurnalisme