Aliansi Jurnalis Independen, saya percaya, menguras banyak duit dari lembaga donor –diumumkan terbuka atau tidak– untuk bikin riset soal sikap dan laku jurnalis di Indonesia. Riset itu umumnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.
Pokok penelitiannya macam-macam tapi ada bab yang selalu tidak ketinggalan; hal-ihwal angpao.
Mulai dari bentuknya, jumlahnya, caranya, hingga dalih pemberiannya. Identitas responden umumnya disamarkan total atau setengah-setengah.
Kalau misalnya hanya untuk menunjukkan betapa akutnya ‘jurnalisme amplop’ di Indonesia, saya kira model riset konvensional begitu –wawancara banyak wartawan ke banyak kota di Indonesia– hanya buang-buang duit. Ada cara lain yang siapapun bisa melakukannya dengan hasil yang bisa jadi jauh lebih menggembirakan. Persisnya menyedihkan. Riset online –mungkin juga riset-risetan– hanya membutuhkan bantuan Google, mesin pencari paling populer saat ini.
Semula, saya iseng-iseng menguji beken mana antara kata “jurnalis” dan “wartawan” di Google. Hasilnya, Google menyajikan 611.000 item untuk kata “jurnalis” dan 27.500.000 untuk kata “wartawan”. Sebab “wartawan” lebih populer, saya berasumsi tentu banyak juga “wartawan” dalam database hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap keuangan pemerintah pusat maupun daerah. Wartawan banyak bersentuhan dengan lembaga pemerintah.
Lantaran fasilitas pencarian di situs BPK tidak berfungsi, kepada Google kita kembali. Menurut daripada Google, situs BPK memuat 18 item untuk jurnalis dan 593 item untuk wartawan. Apa saja isinya? Silakan pilih item mana yang sekiranya berisi laporan hasil audit BPK, bukan kutipan berita dari media massa.
Tidak, saya tidak berminat mengulas satu per satu kasus amplop yang merentang dari Sabang sampai Merauke itu. Silakan coba sendiri.
First published in Telisik Jurnalisme