Hampir semua media terkemuka, bukan saja di Indonesia tapi juga di luar negeri, tidak mencantumkan gelar akademik wartawan dalam susunan redaksi maupun laporan byline. Mari mencomot contoh dari media luar negeri dulu, mulai The Washington Post, The Christian Science Monitor di Amerika Serikat sampai The Guardian di Inggris. Media dalam negeri juga begitu, taruh contoh Kompas dan Media Indonesia.
Apakah itu berarti wartawan-wartawan mereka tidak pernah “makan bangku kuliah”? Ataukah mereka terlalu rendah hati dan tidak sombong? Ataukah sekadar mewarisi kebiasaan zaman perdjoangan ketika umumnya wartawan memang mustahil kuliah?
Sutomo alias Bung Tomo dari Surabaya, misalnya. Ia bukan hanya pembakar semangat arek-arek Suroboyo demi melawan NICA-Belanda tahun 1945 ketika Sukarno justru memilih jalur diplomasi, pilihan yang mungkin tidak heroik dari kacamata sekarang.
Cak, eh, Bung Tomo juga lama sekali jadi wartawan sejak sebelum Indonesia merdeka. Mula-mula wartawan lepas untuk Harian Suara Umum di Surabaya tahun 1937, kemudian jadi wartawan dan penulis pojok di Ekspress, harian berbahasa Jawa di Surabaya tahun 1938.
Masih di tahun yang sama, dia jadi redaktur Mingguan Pembela Rakyat di Surabaya. Setahun berikutnya sampai 1942, Bung Tomo jadi reporter area Surabaya untuk majalah Pustaka Timur berbasis di Jogjakarta asuhan Anjar Asmara.
Zaman Jepang, ia jadi wakil pemimpin redaksi kantor berita Domei bagian Bahasa Indonesia untuk seluruh Jawa Timur di Surabaya. Puncak karir kewartawanannya jadi Pemimpin Redaksi kantor berita Antara di Surabaya tahun 1945.
Justru lama setelah Indonesia merdeka, Bung Tomo baru merasakan bangku kuliah pada 1959 di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Usianya saat itu sudah 39 tahun dan lulus semua ujian mata pelajaran tingkat sarjana sembilan tahun kemudian.
Tentu banyak reporter seperti Bung Tomo sehingga media massa dari zamannya tidak mencantumkan gelar reporternya. Tapi sekarang, konvensi dari zaman perdjoangan itu tetap lestari.
Padahal, semua media rasanya tidak ada lagi yang membuka lowongan dengan syarat lunak; minimal lulus SLTA atau sederajat. Hanya sekali saya melihat pengumuman lowongan selunak itu yang ditempel di kompleks Gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta. Nama persis medianya lupa, pokoknya ada kata ‘api’.
Lantas, apa salahnya memajang gelar wartawan? Tidak, tidak ada satu pun maklumat pemerintah yang melarang. Tidak ada sanksi yuridis apapun yang akan dijatuhkan. Mudah-mudahan karena dilandasi cara berpikir seperti itu –dan mungkin alasan kredibilitas- sebuah media bernama Abdi Media di Surabaya ‘berinovasi’ mencantumkan gelar pada nama awak redaksinya.
Tapi bukankah pembaca pun jadi mudah menyimpulkan, awak redaksi yang tanpa gelar berarti memang tidak ‘makan bangku kuliah’? Tak tahulah awak.
Yang jelas di situ bukan hanya gelar awak redaksi yang dicantumkan tapi juga gelar dan pangkat Dewan Pembina/Penasehat. Misalnya, Jenderal Pol Drs Sutanto, Irjen Pol Drs Bambang Hadiyono MM dan Brigjen Pol Drs Edison Siregar SH.
Abdi Media menyebut diri sebagai AMO, kependekan dari Abdimedia.com. Dan, inilah pengumuman mereka: AWAS WARTAWAN AMO GADUNGAN TANYAKAN ID CARD RESMI DARI AMO.
First published in Telisik Jurnalisme