Minggu, 31 Oktober 2010

Knol dan Kegelisahan Media Besar

Coba ketikkan “buttermilk pancakes” di Google. Hasil pencarian teratas niscaya menyuguhkan content dari Knol, layanan baru cuma-cuma dari Google. Inilah problem lama tapi terbaru dari Google sebagai mesin pencari sekaligus penyedia content.

Klik untuk melihat video tutorial memulai KNOL.
 Soal ini sudah didiskusikan Miguel Helft dalam Is Google a Media Company? di New York Times edisi 10 Agustus 2008. Sebelum artikel itu terbit, hasil pencarian teratas untuk “buttermilk pancakes” di Yahoo! masih merujuk ke Knol. Sekarang, tidak ada sama sekali di halaman pertama. New York Times media berpengaruh dan mungkin saja insinyur-insinyur Yahoo! segera membenahi mesin pencarinya.

Nada tulisan Miguel Helft menyoal tentang tidak fair-nya Google sebagai penyedia mesin pencari tapi juga merangkap sebagai penyedia content. Knol sampai sekarang memang masih berstatus Beta sejak digemborkan setahun lalu.

Knol dengan jargon A Unit of Knowledge bolehlah disebut saingan baru Wikipedia. Bedanya, kontributor di Knol boleh menyisipkan iklan dari Google, Google Adsense, di halaman tulisannya. Bedanya lagi, tulisan di Wikipedia bisa diacak-acak oleh nyaris sembarang orang, sedangkan di Knol bisa dibatasi siapa saja yang boleh menambah atau menguranginya.

Pada kolom pencarian di Knol, saya coba ketikkan “indonesia” dan hasilnya baru tujuh item. Semuanya berbahasa Inggris dan tidak ada iklannya dari Google Adsense maupun layanan iklan lainnya. Artinya, kehadiran Knol tidak menjadi ancaman bagi situs berita berbahasa Indonesia. Kalaupun misalnya Knol mendapat perlakuan khusus sehingga tampil di halaman pertama hasil pencarian Google, pencari content berbahasa Indonesia tentu tetap akan melewatinya.

Lain lagi dengan penyedia content berbahasa Inggris, termasuk media-media mainstream dunia, yang gelisah atas kehadiran Knol. Semakin tersisih dari halaman pertama hasil pencarian Google berarti semakin tipis kemungkinan datangnya tetamu situs. Dan, itu berarti kiamat kecil bagi perusahaan media karena semakin tipis kemungkinan tetamu datang, semakin tipis pula kemungkinan orang mau pasang iklan.

Namun, juragan Google sebagaimana diwawancarai Miguel Helft, berdalih, Google tidak punya hak cipta atas isi Knol. Artinya pula, Google bukan penyedia content. Maksudnya, Knol tidak berpotensi mengancam penyedia content seperti media massa.

Knol bukan layanan percuma yang pertama dari Google. Sebelumnya, Google juga sedia jasa cuma-cuma di Blogger dan YouTube, bahkan menyajikan sebagian berita bikinan The Associated Press dalam Google News.

Menyudahi karangannya, Miguel Helft mengutip David B Yoffie, professor dari Harvard Business School.
“If I am a content provider and I depend upon Google as a mechanism to drive traffic to me, should I fear that they may compete with me in the future?” Professor Yoffie asked. “The answer is absolutely, positively yes.”

Pak professor mengingatkan pula konflik serupa tapi tak sama pada kasus Microsoft, satu dasawarsa lalu. Microsoft sebagai pembikin sistem operasi sekaligus aplikasi komputer. Bukan sekali dua Microsoft didenda gara-gara membuat mustahil sebuah aplikasi yang bukan bikinannya untuk digunakan dalam sistem operasi Windows.

Karangan di Helft di New York Times, saya kira, juga mencerminkan kegelisahan media-media mapan yang masih mengandalkan tetamu dari hasil pencarian Google. New York Times, bukan kebetulan, juga punya layanan About.Com yang percaya diri bisa menjadi pedoman, bukan sekadar jawaban perkiraan. Hanya, About.Com bukan pesaing langsung Knol karena jawaban dari About.Com –sebagaimana klaimnya- berasal dari 750 pakar yang dibayar khusus.

First published in Telisik Jurnalisme