“The politically motivated trial launched against me will, Insha Allah, be the last of its kind. No Malaysian will suffer from this cruel injustice ever again.”
“Peradilan berlatar politis terhadap saya, Insya Allah, akan menjadi peradilan yang paripurna. Tidak akan ada lagi warga Malaysia yang menjadi korban ketidakadilan seperti ini.”
Raja Petra Kamaruddin, blogger Malaysia, menuliskan itu dalam karangan berjudul I Promise to be a good, non-hypocritical Muslim, 8 Agustus 2008. Informasi ini mula-mula saya baca dari blog Wong Chun Wai via InJournalist.Com, kemudian googling sana-sini.
Pada 2001, Raja Petra pernah ditahan polisi Malaysia berdasarkan Internal Security Act (ISA, Akta Keselamatan Dalam Negeri) karena mengelola FreeAnwar.Com, kini FreeAnwar.Net. Raja Petra, saya kira, lebih sebagai aktivis politik baru kemudian citizen journalist.
Tadi siang, pukul 13.10 waktu Malaysia, dia diciduk polisi lagi karena karangan I Promise to be a good, non-hypocritical Muslim dan satu lagi, Not all Arabs are descendants of the Prophet.
Jadi, citizen journalist yang kritis pun menghadapi potensi yang sama dengan jurnalis. Mereka bisa dipenjara. Malaysia memang keterlaluan mengawasi warganya tapi saya kira di negara manapun, citizen journalist bukan makhluk yang bebas dari konsekuensi hukum atas tulisannya di Internet.
Indonesia juga punya banyak citizen journalist tapi tidak terlalu banyak yang galak dengan identitas yang terang. Itu satu soal. Soal lainnya adalah pada hari yang sama aparat Malaysia menciduk Tan Hoon Cheng, wartawan harian Sin Chew Daily.
Bahkan, masih di hari yang sama, aparat Malaysia juga menahan seorang politisi, Teresa Kok. Malaysia adalah negeri yang panik, sebagaimana Indonesia di zaman ada Menteri Penggelapan, pinjam plesetan dari Butet Kertaradjasa.
First published in Telisik Jurnalisme